Powered by Blogger.

Biografi Orientalis "Penakluk Aceh" Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) Part 6

Written By Yayasan Peduli Remaja Mentari on Monday, October 1, 2012 | 11:10

Hal ini terjawab pada artikel kedelapan dalam buku ini. VK menginginkan review kebijaksanaan Belanda dewasa ini mengenai Islam. VK mengecam pembatasan terhadap kemungkinan pengembangan Islam di Belanda, sebagai akibat sistem hukum yang ada.

Ringkasnya, VK menginginkan keterbukaan seraya "klarifikasi intelektual" terhadap masa lampau generasi ilmuwan Belanda di tanah jajahan.

Dengan buku ini, VK juga ingin menjernihkan misi intelektual para ilmuwan yang bekerja di mana pun agar memegang etik intelektual dan tidak menjalankan tugas intelijen.

Berdasarkan penelitiannya, VK memastikan bahwa Snouck (SH) secara sadar beralih agama dan berperilaku lahiriah sebagai Muslim di Mekkah maupun di Indonesia untuk tujuan politik belaka.

Berikut ini petikan pendapat Van Koningsveld (VK) yang dikutip Kompas, 16 Januari 1983:

Snouck menilai, Al Qur'an bukan sebagai wahyu Turan, tetapi lebih sebagai "harya tulis" Nabi Muhammad SAW.yang mengandung gagasan-gagasannya tentang agama. "Menurut penilaian saya, disertasi Snouck merupakan karya ilmiahnya yang terbaik, karena di situ. ia bersikap sebagai ilmuwan,"ujar VK.  VK menambahkan keterangan tentang situasi budaya di negeri Belanda saat itu, yang amat berpengaruh terhadap sikap dan pandangan hidup Snouck kelak. Snouck berasal dari keluarga pendeta Protestan (domine) terkemuka yang konvensional dan semi ortodoks. Tetapi lingkungan dia belajar (Leiden) adalah liberal untuk zaman itu. Dan pada periode itu, ilmuwan perbandingan agama, dan perbandingan sejarah agama amat dipengaruhi teori euolusi dari Charles Darwin. Pengaruh itu melahirkan suatu teori kebudayaan bahwa budaya Eropa dan agama Kristen merupakan titik puncak proses perkembangan kebudayaan. Karena itu, agama Islam dianggap sebagai suatu bentuk "degenerasi" kebudayaan yang oleh kalangan Kristen di situ dianggap sebagai hukuman Tuhan YME atas segala dosa kaum Nasrani. Pendeknya, agama dan budaya Eropa lebih unggul daeipada agama dan budaya Timur (Oriental).

Teori atau konsep kebudayaan tersebut di atas amat mempengaruhi pandangan dan sikap Snouck selanjutnya, demikian VK Pada tahun 1876, semasa Snouck masih mahasiswa di Leiden pernah menyatakan: "Kita harus membantu. bangsa pribumi (maksudnya penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam". Sejak itu, memang Snouck tidak pernah beranjak jauh dari sikap, demikian.

SH kemudian mengajar pada "Leiden of Delf Akademie" tempat semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda dilatih sebelum berdinas di Hindia Belanda. Snouck sendiri belum pernah ke Hindia, namun di situlah dia mulai terlibat dengan urusan kolonial Hindia Belanda di mana perang Aceh sudah mulai berkobar.

Ketika tinggal di Jeddah, Snouck berkenalan dengan dua orang Indonesia yang kemudian menjadi amat penting baginya, yaitu Raden Aboebakar Djajadiningrat dan Haji Hasan Moestafa, keduanya berasal dari Priangan. Snouck belajar bahasa Melayu dari Aboebahar dan giat bergaul dertgan para jamaah dari Hindia untuk mencari keterengan yang diperlukan.

Semua kegiatan Snouck selama di Arab Saudi ini dicatat dalam buku harian yang teliti dan sampai kini masih tersimpan di arsip perpustakaan Universitas Leiden. Dari buhu harian itu, menurut VK banyak ulama di Jeddah yang menganjurkan SH beralih agama menjadi Muslim. Apalagi Snouck memang sudah banyak pengetahuannya tentang Islam. Dan ini memang dilakukan oleh SH, setelah ia tinggal di rumuh Aboebakar ds Jeddah pada 4 Januan 1885. Peralihan agama ini pasti, karena enam bulan sesudah itu ada sepucuk surat berbahasa Arab dari seorang penduduk Mekkah yang ditujukan kepada SH dengan nama Abdoel Gaffar. Salah satu surat itu, menurut penuturan VK berbunyi:

   "...karena anda telah beralih agama di depan khalayak ramai, maka juga para ulama di Mekkah dengan ini mengukuhkan keabsahan peralihan agama anda ke Islam."
   "Tetapi, meski Snouck telah melakukan upacara peralihan agama, tidaklah berarti. dia Muslim sejati," kata VK. "Ini  pernyataan saya, dan saya bisa membuktikannya berdasarhan. dokumen yang ada."

Kemudian Snouck alias Abdoel Gaffar tinggal selama enam bulan di Mekkah. Di situ dia diterima dengan kehormatan oleh ulama tertinggi di Mekkah, yaitu Wali Hejaz. Tahun 1885, Snouck kembali ke negerinya.

Jilid kedua berisi uraian tentang pelbagai segi kehidupan dan keluarga di Mekkah. Terutama tentang peri kehidupan dan pandangan kaum `eks Djawa' yaitu masyarakat Indonesia yang bermukim di Mekkah. Bahkan Snouck menguraikan kehidupan seks dalam keluarga di situ dan pelbagai segi pribadi hehidupan masyarakat seperti pendidikan agama, khitanan, upacara perkawinan, penguburan. dan sebagainya. Banyak kalangan ilmuwan yang mengagumi Snouck yang telah menjalankan metode pengamatan dan penelitian `modern' yakni dengan metode partisipasi.

Tetapi VK berpendapat lain, "Jilid kedua itu terbukti didasarkan pada laporan tertulis berupa surat-surat dari Aboebakar di Jeddah kepada Snouck," ujarnya. "Korespondensi ini berjalan terus setelah Snouck pulang melalui Konjen Belanda. Bahkan ada bagian-bagian dari buku Snouck itu yang merupakan jiplakan dari surat Aboebakar.!" Memang Aboebakar ketika itu dijadikan asisten Konjen Belanda atas rekomendasi Snouck.

Bukan itu. saja. Bahkan atas persetujuan Snouck, Aboebakar membuat sebuah buku catatan berisi biografi ulama Indonesia yang berada di Mekkah ketika itu. Buku (cahier) ini berjudul Risalah Tarjamah Ulama Djawa, antara lain memuat biografi An-Nawauwi Banten. Adanya risalah ini baru diketahui sekarang dan ditentukan oleh VK. "Ini dan semua surat-surat tadi sepatutnya diterbitkan atas nama Aboebakar Djajadidningrat karena Snouck tidak menggunakan seluruhnya," katanya.

Selama di Jeddah dan di Mekkah, Snouck memang tidak ber-hasil mendapatkan informasi yang bernilai politis bagi Belanda. Terutama pandangan terhadap Belanda. Keterangan ini diperoleh dengan mudah karena masyarakat di sana sudah rnenganggap Snouck alias Abdoel Gaffar sebagai akhu-fiddin (saudara seagama) mereka. Ketika di situ pula Snouck membina pertemuan dengan orang-orang Aceh.

SH lalu membuat langkah penting dalam hidupnya. Dia menawarkan diri untuk ditugaskan he Aceh. di mana Belanda sudah terlibat perang yang luas di situ. Apalagi dia masih berkorespondensi dengan beberapa ulama Aceh yang dikenalnya di Mekkah.

   "Snouck mengusulkan, dia akan pergi ke Aceh diam-diam dengan tujuan melakukan penetrasi ke Istana Sultan di Kumala, suatu tempat di mana Sultan menyingkir dari serbuan Belanda," tutur VK "Snouek akan mengusahakan suatu persetujuun antara Belanda dengan Sultan Aceh."

Kementerian Urusan Jajahan setuju. Snouck berangkat secara rahasia. Tetapi, sesampai di Penang, dia dicegat Konsul Belanda dan diperintahkan melapor ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ternyata pihah militer Belamda di Aceh tidak setuju dengan rencana Snouck. Snouck mendarat di Batavia tahun 1889. Gubernur Jenderal C. Pijnaker Hordijk secara segera menunjuk beberapa orang menjadi asisten Snouck.

Salah satu pembantu yang utama adalah yang terdahulu Sayyid Osman ibn Jahja ibn Aqil al-Alawi. Dia ulama keturunun Arab Hadramaut, dan pembantu penasihat pemerintah masalah Islam, yang terdahulu Mr. L.W.C. Van Den Bergh. Selain itu, Snouck juga dibantu kenalan lama di Mekhah, Haji Hasan Moestafa, yang dijadikannya penasihat utama untuk wilayah Jawa Barat.

Melalui perbincangan di Batavia dan korespondensi dengan Den Haag, Snouck  mendapat jabatan resmi dan tetap sebagai "Officieel Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts" (Penasehat Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam). Bahkan sesudah pulang kembali ke Leiden tahun 1906, dia tetap menjabat kedudukan itu dengan nama "Adviseur voor Inlandsche Zaken" yang berhubungan dengan kabinet Belanda.

Tugas penting pertama SH adalah mendalami cara menyelesaikan atau lebih tepat menumpas Perang Aceh. Setelah peninjauan lapangan selama hanya delapan bulan saja, dan dibantu banyak keterangan tertulis jaringan pembantunya.

Pada tahun 189 SH ditugaskan ke Aceh untuk menyusun saran penyelesaian Perang Aceh bagi Belanda, karena politik pemerintah gagal total. Snouck berangkat ke Ulee Lheue yang menjadi kubu militer Belanda. Di situ dia mendapat bantuan berharga dari Tengku Nurdin yang juga abang kepala pengulu Ulee Lheue bernama A'koeb. Kemudian Snouck membuat laporan telab "Atjeh Verslag" yang menjadi dasar kebijakan politik dan militer Belanda menghadapi persoalan Aceh.

Bagian pertama laporan. itu berupa uraian antropologis Aceh, pengaruh Islam, peranan ulama, dan uleebalang. Dalam bagian ini Snouck mengemukakan bahwa Perang Aceh dikobarkan oleh para ulama, sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingabnya adalah berniaga. "Islam harus dinilai sebagai faktor yang sangat negatif karena membangkitkan fanatisme anti-Belanda di kalangan rakyat. Setelah para pemuka agama ditumpas, maka Islam akan menjadi tipis (superpicial di Aceh sehingga para uleebalang bisa dengan mudah menguasai situasi," demikian pendapat Snouck menurut penuturan VK.

Bagian kedua berisi saran dan tindakan strategis militer. Snouck menyarankan agar operasi militer ke pedalaman menumpas habis gerilya dan sumber kekuatan utama, dan setelah itu baru bisa ada peluang membina hubungan kerjasama dengan uleebalang.

Van Koningseteld (VK) menegaskan bahwa Snouck selalu dikelilingi suatu jaringan pembantu atau pemberi keterangan yang terdiri dari orang Indonesia. "Cara kerja Snouck di Hindia Belanda persis sama dengan ketika berada di Arab Saudi: mengadakan kontak dengan mendapatkan informasi lengkap tertulis."

Para ulama ini membantunya dengan sukarela dan dengan keyakinan Snouck itu Muslim. Kecuali beberapa orang seperti Sayyid Osman, yang memang digaji 100 Gulden sebulan oleh pemerintah Belanda.

VK menemukan sejumlah surat dari banyak ulama di Jawa kepada Snouck yang disebutnya, antara lain sebagai "al Sheikh al Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Ad-Dhiyar al ­Djawiya" yang artinya "Tuan Abdoel Ghaffar sarjana yang amat terpelajar pemimpin agama tertinggi di Jawa."

Lebih istimewa lagi, Sheikh Maulana Abdoel Ghaffar itu pada bulan Januari 1890 menikah dengan seorang puteri kepala penghulu Ciamis. Dari perkawinan ini lahir empat anak, dua perempuan dan dua laki-laki. Yaitu Salmah, Emah, Oemar, Aminah, dan Ibrahim.

Dan dekat dengan akhir abad he-19, Abdoel Ghaffar Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Siti Sadiyah, putri ulama paling terkemuka di Bandung ketika itu yaitu Kalipah Apo. Perkawinan ini melahirkan seorang putra tunggal yaitu R. Joesoef.

Snouck dalam suatu korespondensi dengan Theodor Nuldeke, orientalis terkemuka Jerman yang juga gurunya di sebuah universitas Strassbourgh, mengaku terus terang bahwa perilakunya sebagai Muslim adalah untuk menembus masyarakat Islam dan mendapatkan keterangan. ",...saya melakukan idharul-Islam karena hanya dengan begitu saya bisa diterima di halangan primitif, seperti di Indonesia," begitu VK mengutip surat Snouck kepada Nuldeke.

VK juga menemukan surat lain Snouck, yang menyatakan bahwa dia juga seorang agnostik (selalu meragukan keberadaan Tuhan, tidak perduli dengan agama). Ini ternyata dari surat Snouck kepada Teolog Protestan terkenal pada zamannya, Herman Bravinck, rekan sekuliahnya di Universitas Leiden.
   "...anda memang seorang yang yakin kepada Tuhan. Sedang saya seorang yang skeptis terhadap segala hal...," tulis Snouck.

PENUTUP
Pada dasarnya. pola operasi orientalis angkatan Snouck menggunakan metode ilmiah untuk memisahkan umat Islam dari spirit ajarannya, baik yang bersifat politik maupun hukum. Snouck mengajukan gagasan politik asosiasi yang maksudnya mengubah orientasi budaya umat Islam ke arah kebudayaan Barat, yang diyakini Snouck sebagai paling luhur.

Snouck sudah meninggal, tetapi Snouckisme masih terasa bekas-bekasnya. Kini banyak sarjana Islam yang mempelajari agamanya lewat metodologi Barat di kampus-kampus ternama di dunia I3arat. Keislaman dilihat sepenuhnya sebagai gejala profan, metodologi yang berasal dari khasanah Islam dianggap sudah tidak aktual lagi sebagai perangkat memahami Islam. Secara tidak disadari apresiasi mereka terhadap Islam berubah, begitu pula terhadap "kitab kuning” yang merupakan produk khasanah lama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari anggapan bahwa keberagamaan, dalam arti luas, adalah gejala profan. Jika pemahaman ini ditarik jauh, maka faktor wahyu Ilahi sebagai sumber keberagamaan (Islam) menjadi nisbi. Kesimpulan ini tidak terlalu jauh dengan catatan surat-surat Snouck Hurgronje seperti dikutip Koningsveld.

Sebelumnya : Biografi Orientalis "Penakluk Aceh" Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) Part 5

sumber : http://arimateapusat.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment